Noken: Simbol Kehidupan Perempuan Papua Yang Terjalin dari Serat Kayu

Penggunaan Noken Wamena oleh masyarakat tradisional Papua. (Foto: Phinemo.com)

Tak hanya memiliki keindahan alam yang tiada duanya, Papua juga menyimpan segudang keindahan budaya. Salah satunya adalah Noken, sebuah kerajinan tangan tradisional Papua berbentuk tas yang biasanya terbuat dari serat kayu, daun, dan batang anggrek yang dianyam atau dirajut oleh perempuan Papua. Pada tahun 2012, Noken telah diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Tidak hanya itu, Noken juga semakin menyita perhatian masyarakat semenjak ilustrasinya dijadikan salah satu Google Doodle pada tanggal 4 Desember 2020 lalu dalam rangka memperingati Hari Noken Sedunia.

Filosofi dan Teknik Pembuatan

Noken dinilai sebagai simbol kehidupan dan kekuatan perempuan di Papua. (Foto: Minews.id)

Sejak kecil, perempuan Papua sudah diajarkan bagaimana cara membuat Noken. Bahkan, kemahiran seorang perempuan Papua dalam membuat Noken juga menjadi salah satu syarat bagi mereka untuk menikah. Biasanya, Noken akan menjadi seserahan dari calon pengantin perempuan ke calon pengantin laki-laki. Derajat seorang calon pengantin ini dapat dinilai dari seberapa banyak Noken yang diberikan.

Noken digunakan oleh masyarakat tradisional Papua dari berbagai usia.
(Foto: Dok. Liza Monalisa)

Menurut buku Jamiru Perjalanan Spiritual Orang Irarutu karya Umar Werfete, Noken merupakan sebuah simbol dari perdamaian dan kemakmuran bagi masyarakat Papua. Selain itu, Noken juga kerap disebut sebagai simbol anti kekerasan karena menggambarkan simbol kehidupan para perempuan di Papua. Salah satu organisasi asal Papua, Jaringan HAM Perempuan Papua Vin Yarangga, bahkan membuat sebuah program bertajuk Anyam Noken yang hadir sebagai proses atau metode pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan.

Maria Sapari, salah seorang pengrajin Noken asal Serui. (Foto: Dok. Kilas Papua)

Pada umumnya, untuk membuat Noken diawali dengan memanaskan cabang, batang, atau kulit pohon di dalam sebuah tungku air. Setelah panas, serat kayu yang tersisa harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum kemudian dipintal menjadi benang dan tali yang kuat. Proses pewarnaan akan dilakukan setelah pemintalan selesai. Benang dan tali ini kemudian akan diikat oleh tangan para perempuan Papua untuk menghasilkan sebuah kantong jaring dengan berbagai pola dan ukuran. Proses pengerjaan satu buah Noken berukuran kecil membutuhkan waktu kurang lebih 1-2 minggu, untuk ukuran yang lebih besar bahkan bisa mencapai 3 bulan.

Noken Raja Ampat dan Noken Wamena

Noken Raja Ampat telah menjadi souvenir khas Papua yang diproduksi dalam berbagai bentuk dan warna.
(Foto: Sahabat Lokal)

Terdapat dua macam Noken yang paling dikenali oleh publik: Noken Raja Ampat dan Noken Wamena. Meski melalui proses produksi dan memiliki kegunaan yang sama, namun terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya. Noken Raja Ampat memiliki bentuk kotak dengan rajutan yang lebih kecil. Bahan dasar yang digunakan biasanya berasal dari tanaman pesisir seperti daun pandan, daun tikar, ilalang rawa, dan kulit kayu. Pemilihan tanaman-tanaman tersebut menunjukkan lokasi dari Raja Ampat itu sendiri. Dari segi warna, Noken Raja Ampat memiliki variasi warna yang lebih terang dan beragam, bersifat agak kaku, dan memiliki penutup di bagian atasnya. Masyarakat Raja Ampat biasanya mengenakan Noken mereka dengan menghadap ke depan dan digantungkan di leher atau pundak.

Noken Wamena mulanya digunakan untuk membawa hasil ladang.
(Foto: Dok. Tribun Manado)

Jika Noken Raja Ampat memanfaatkan tanaman pesisir, Noken Wamena terbuat dari akar tanaman anggrek dan daun pandan besar. Noken Wamena juga memiliki bentuk yang cenderung lebih besar dengan rajutan longgar layaknya sebuah jaring ikan sehingga terlihat lebih unik. Berbeda dengan masyarakat Raja Ampat yang menggantungkan Noken di leher dan pundak, masyarakat Wamena dipakai di kepala dan dibiarkan menggantung ke belakang punggung. Konon, sejarah dibuatnya Noken Wamena adalah untuk memudahkan masyarakat Papua membawa hasil ladangnya, dengan memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan di sekitar. Satu hal lagi yang membedakan Noken Wamena dari Noken Raja Ampat adalah teknik pembuatannya yang tidak dianyam, melainkan dirajut – membuat karakter material Noken Wamena menjadi lebih fleksibel dan elastis dibandingkan Noken Raja Ampat.

Membutuhkan Perlindungan

Para penjaja Noken di Papua. (Foto: Tempo, Dok. Hari Suroto)

Tanggal 4 Desember dinyatakan sebagai hari lahir Noken, sesuai dengan tanggal disetujuinya Noken sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO. Namun sayangnya, UNESCO juga mengategorikan Noken sebagai warisan budaya yang membutuhkan tindakan pelestarian segera (in need of urgent safeguarding), mengingat berbagai faktor yang mengancam keberlangsungan Noken, mulai dari diserangnya pasar kerajinan tradisional dengan barang pabrik, berkurangnya sumber daya, serta minimnya kesadaran budaya dan pengrajin yang masih tersedia.

Gedung Museum Noken di Wamena. (Foto: Dok. Jubi)

Pada tahun 2013 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia telah menghibahkan Museum Noken kepada Pemerintah Provinsi Papua. Sayangnya, museum yang terletak di Kota Wamena ini dinilai kurang difungsikan sebagai salah satu sarana pelestarian kerajinan tangan tersebut. Padahal, jika museum ini berhasil difungsikan dengan baik, Museum Noken dapat menjadi salah satu alat pelestarian Noken dengan menjadi tempat pembelajaran tradisi, pusat pelatihan, dan lokasi utama para pengrajin Noken untuk menjual karyanya.

Penulis: Nabila Nida Rafida | Editor: Mega Saffira | Sumber: Phinemo | BBC | DetikTravel | CNN | Tirto | Media Pakuan | Jubi

2 comments

Leave a comment